PROFIL GURU PAI IDEAL PADA SEKOLAH UMUM
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum disinyalir kurang berhasil membentuk peserta didik menjadi pribadi muslim seutuhnya. Hal ini terbukti dengan rendahnya moral masyarakat sebagai output pendidikan, menjamurnya budaya korupsi, tawuran antar pelajar dan pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, free seks dan pergaulan bebas, dan dekadensi moral lainnya.
Jika dicermati, eksistensi PAI di sekolah umum merupakan bagian dari sistem pendidikan di tanah air, di mana antara satu bagian dengan bagian lainnya saling terkait. Keberhasilan PAI di sekolah sangat terkait erat dengan kebijakan pemerintah, lingkungan sekitar (termasuk peran orang tua dan masyarakat), kurikulum, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Adapun di dalam tulisan ini, penulis akan membatasi topik bahasan hanya pada peran guru PAI, yaitu terkait upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menciptakan PAI di sekolah yang berhasil.
Di antara penyebab kurang berhasilnya PAI di sekolah adalah rendahnya minat peserta didik terhadap PAI itu sendiri. Kondisi ini umumnya dilatarbelakangi oleh kemampuan guru PAI yang tidak pandai mensiasati dan menyajikan PAI yang menarik bagi peserta didik. Padahal seharusnya, guru PAI bisa menjadikan belajar agama menjadi menyenangkan, mencerahkan, dan dibutuhkan siswa. Bukan malah sebaliknya, di mana PAI selama ini dirasakan sebagai “beban yang menyusahkan” peserta didik. Cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan mutu pembelajaran PAI di antaranya adalah dengan menerapkan teori “double movement” nya Fazlur Rahman, yang berbasis social planning. Disamping itu juga perlu menerapkan strategi pembelajaran yang menyenangkan dan berpusat pada siswa, dan sebagainya.
A. PENDAHULUAN
Pendidikan agama Islam (PAI) yang diterapkan di lembaga pendidikan keagamaan (madrasah), maupun di lembaga pendidikan non keagamaan (sekolah umum) dalam realisasinya hanya dititikberatkan pada upaya memberikan materi ajaran agama Islam secara bertahap dan berjenjang. Materi pendidikan agama Islam yang termuat dalam Standar Isi hanya mencakup bagian-bagian tertentu yang dianggap penting. Bahkan, pendidikan agama Islam cenderung ditargetkan dalam muatan dan waktu yang amat terbatas (PAI di sekolah umum hanya 2 jam pelajaran perminggu).
Kenyataan ini menjadikan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum cenderung dilaksanakan hanya pada upaya pemenuhan target materi kurikulum ketimbang membentuk nilai-nilai Islam pada pribadi peserta didik. Padahal dalam waktu yang bersamaan, masyarakat meletakkan tuntutan yang sangat tinggi terhadap tugas-tugas pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum, yaitu agar menyiasati pembinaan dan pengembangan nilai-nilai keislaman peserta didik sesuai dengan ajaran Islam.
Persepsi dan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan agama Islam semacam ini merupakan masalah yang dilematis, sehingga timbul kecenderungan untuk melimpahkan tanggung jawab kepada guru agama. Padahal pendidikan agama di sekolah umum memiliki ruang gerak yang terbatas, apalagi faktor-faktor lain yang mendukung kemajuan PAI masih sangat minim.
Padahal jika dilihat dari latar belakang dan dasar hukumnya, pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak sekedar masalah teknik penyelenggaraan pendidikan semata. Pendidikan agama adalah kebutuhan mutlak bagi pembentukan watak bangsa dan pembangunan manusia seutuhnya. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa pemerintah harus mengusahakan penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[1]
Pendidikan agama di sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan iman, takwa dan akhlak mulia peserta didiknya, serta agar meraka aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat.
B. FAKTOR PENYEBAB PAI DI SEKOLAH KURANG MENARIK DAN KURANG MENCERAHKAN PESERTA DIDIK
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab PAI kurang menarik dan kurang mencerahkan peserta didik, mengingat keberadaan PAI sendiri sebagai bagian dari sebuah sistem. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah:
1. Paradigma yang out of date (kadaluarsa) dan metodologi yang monoton
Sebagian besar metode dan suasana pengajaran di sekolah-sekolah selama ini tampaknya lebih banyak “menghambat” dari pada “memotivasi” potensi peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik sering diposisikan sebagai objek yang harus bersedia mendengarkan, menerima seluruh informasi dan mentaati segala perlakuan gurunya. Guru memposisikan dirinya sebagai sumber utama, berperan sebagai “hero” yang menentukan masa depan peserta didik. Guru selalu menyajikan materi dengan metode ceramah. Guru juga sering memberi kegiatan atau tugas mencatat bagi siswa.
Budaya dan mental semacam itu pada gilirannya membuat siswa tidak mampu mengaktivasi kemampuan dirinya sendiri. Sehingga mereka tidak memiliki keberanian menyampaikan pendapat, lemah penalaran dan selalu tergantung pada orang lain, tidak mandiri. Padahal potensi yang dimiliki manusia itu pada dasarnya sungguh luar biasa. Indra Djati Sidi, misalnya, ia mengatakan bahwa orang secerdas Einstein saja konon baru berhasil mengaktualisasikan potensi otaknya hanya sebesar 20 %. Selain itu, Komaruddin Hidayat juga mengatakan bahwa hasil penelitian neuropsikologi menunjukkan bahwa potensi manusia yang sudah teraktualisasikan masih sangat sedikit, baru sekitar 10 % saja.[2]
2. Materi yang mismatch
Materi pelajaran yang diberikan guru biasanya berbasis doktriner/konsep-konsep ajaran Qur’an dan Hadis pada tataran teori yang sifatnya tekstual. Hal ini mengakibatkan peserta didik dijejali dengan hapalan-hapalan kognitif yang akhirnya membuat mereka merasa terbebani. Materi PAI dianggap menyusahkan bagi mereka. Padahal dalam kehidupan meraka sehari-hari, masalah yang ditemui tidaklah sesederhana teori-teori yang dihapalkannya itu. Sebagai contoh, ketika membahas materi tentang Nikah, mereka hanya dijejali dengan pengertian, rukun, syarat, tujuan, hikmah, termasuk hukum-hukum lian, zihar, thalak, ruju’, khulu’ dan yang lainnya. Sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka menyaksikan betapa para orangtua mengalami kesulitan membina sebuah rumah tangga yang ideal, baik karena faktor ekonomi, kepribadian dan watak berbeda yang tidak bisa dikompromikan, hobbi “kawin-cerai” yang diperankan oleh artis-artis (public figure), dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan teori yang dipelajari terasa tidak relevan dengan kenyataan. Contoh lain, siswa diberi materi tentang Iman kepada Allah yang membahas sifat-sifat dan nama-nama Allah. Tetapi aspek manfaat dan bagaimana merealisasikannya dalam kehidupan sering kali tidak dibahas. Hal ini menjadikan siswa cukup sulit mengkolaborasikan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupannya sehari-hari.
3. Performance (penampilan) guru yang kurang meyakinkan
Kebanyakan guru agama sering punya performance yang kurang “gaul” bagi istilah peserta didik sekarang. Performance yang penulis maksud disini bukan hanya penampilan fisik, tetapi lebih pada kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki. Banyak guru agama yang tidak punya wawasan komprehensif terhadap dunia luar, tidak punya kecakapan profesional sebagaimana yang dituntut dalam undang-undang sertifikasi guru, serta tidak memiliki kemampuan teknologi yang memadai. Akibatnya prestise guru tersebut dimata siswa menjadi turun, sehingga mereka kurang bergairah mengikuti pelajaran.
4. Evaluasi yang tidak memuaskan (not satisfied)
Materi-materi yang disajikan dan dievaluasi guru identik pada aspek kognitif an sich, sedangkan tingkat afeksitas peserta didik (internalisasi nilai) dalam kehidupan sehari-hari sering tidak terevaluasi. Akibatnya, pemberian nilai yang tinggi diberikan kepada peserta didik hanya karena kepintaran dan hafalannya, tanpa melihat akhlak dan perilakunya. Hal ini jelas akan menyebabkan ketidakpuasan bagi sebagian siswa. Sehingga mereka menjadi frustasi, kecewa dan tidak bergairah lagi dengan guru yang bersangkutan.
C. KURIKULUM DAN MATERI PAI YANG MENCERAHKAN DAN MEMOTIVASI PESERTA DIDIK
Menurut Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip Sutrisno dalam bukunya “Pendidikan Islam yang Menghidupkan”, pendidikan Islam yang ideal adalah pendidikan yang dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi umat manusia,[3] mengakomodir semua kepentingan, keinginan dan cita-cita penggunanya.
Adapun kurikulum PAI yang ideal, tergambar dalam keempat unsur sebagai berikut:
1. Tujuan PAI
Menurut konsep Depdiknas, tujuan PAI di sekolah umum adalah:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Menurut Rahman, tujuan ini dapat dipertajam lagi, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya mengantarkannya menjadi manusia yang kritis, analisis, dan kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memamfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.
2. Materi PAI
PAI merupakan rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok yang terdapat dalam Islam. Pembelajaran PAI tidak hanya menekankan penguasaan aspek kompetensi kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotorik Isi materi pelajaran PAI didasarkan dan dikembangkan dari ayat-ayat qauliyah yaitu ketentuan-ketentuan yang ada dalam dua sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW (dalil naqli), dan ayat-ayat kauniyah (dalil ‘aqli). Disamping itu materi PAI juga diperkaya dengan hasil-hasil istinbath atau ijtihad para ulama sehingga ajaran-ajaran pokok yang bersifat umum menjadi lebih rinci.
Materi PAI dikembangkan dari tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman. Syari’ah merupakan penjabaran dari konsep islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan. Dari ketiga konsep dasar itulah berkembang berbagai kajian keislaman, termasuk kajian-kajian yang terkait dengan ilmu, teknologi, seni dan budaya.
Dengan materi tersebut diharapkan out put program pembelajaran PAI di sekolah akan melahirkan terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti luhur) yang merupakan misi utama dari diutusnya Nabi Muhammad SAW. Pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa dari pendidikan Islam, sehingga pencapaian akhlak mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa pembelajaran PAI tidak berarti menafikan pendidikan jasmani dan pendidikan akal. Keberadaan program pembelajaran selain PAI juga menjadi kebutuhan peserta didik yang tidak dapat diabaikan. Namun demikian, pencapaian akhlak mulia justru mengalami kesulitan jika hanya dianggap menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran PAI. Dengan demikian, pencapaian akhlak mulia harus menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk mata pelajaran non-PAI dan guru-guru yang mengajarkannya. Ini berarti bahwa meskipun akhlak itu tampaknya hanya menjadi muatan mata pelajaran PAI namun mata pelajaran lain juga perlu mengandung muatan akhlak. Lebih dari itu semua guru harus memperhatikan akhlak peserta didik dan berupaya menanamkannya dalam setiap proses pembelajaran. Jadi pencapaian akhlak mulia tidak cukup hanya melalui mata pelajaran PAI.
3. Metodologi PAI
Seorang guru yang baik tidak hanya berfungsi sebagai pengajar (transfer of knowledge) tetapi juga sebagai pendidik (transfer of values), sekaligus sebagai pembimbing. Karena itu guru maka guru PAI dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang siswa, wawasan yang luas tentang pendekatan, prinsip, materi pelajaran dan menguasai berbagai keterampilan atau model pembelajaran, termasuk strategi dan metodologi.[4]
Untuk itulah maka diperlukan pembenahan tentang metodologi penyajian PAI, yang meliputi:
a. PAI berbasis Social Planning
Yaitu suatu kurikulum dan pendekatan yang berangkat dari identifikasi persoalan realitas peserta didik lebih dahulu, baru kemudian membahas aspek normatifnya. Pendekatan PAI seperti ini diilhami oleh teori “Double Movement” nya Fazlur Rahman (teori gerakan ganda). Problem-problem sosial yang ada di dalam kehidupan dibahas terlebih dahulu, untuk kemudian dikaitkan dengan aspek normatifnya. Pendekatan seperti ini akan jauh lebih menarik minat belajar agama siswa, sehingga mereka bisa mengatasi berbagai problemnya berdasarkan kajian agama yang dipelajarinya. Dalam hal ini belajar agama dapat memberikan pencerahan bagi siswa, sekaligus berfungsi sebagai problem solver.
Secara lebih detail, Sutrisno membahas kurikulum PAI berbasis social planning ini di dalam beberapa penjelasannya sebagai berikut:
PERBEDAAN KONSEP PENDIDIKAN AGAMA KONVENSIONAL & BERBASIS SP
PAI KONVENSIONAL | PAI BERBASIS SP |
1. Berbasis pada keyakinan (doktrin) | 1. Berbasis pada problem sosial |
2. Menggunakan paradigma eksklusif | 2. Menggunakan paradigma inklusif |
3. Berorientasi pada penguasaan ilmu agama dan ritual keagamaan untuk membentuk siswa menjadi ahli agama | 3. Berorientasi pada norma dan etika agama untuk membentuk prilaku sosial keagamaan dan pemecahan problem sosial masyarakat |
4. Kurikulum berbasis pada ilmu/pengetahuan agama yang perlu dipelajari siswa | 4. Kurikulum berbasis pada realitas sosial yang menantang untuk dipecahkan oleh para pemeluk agama |
5. Kompetensi yang dituntut berkaitan dengan perilaku kesalehan individu | 5. Menekankan kompetensi yang berkaitan dengan pemenuhan kesalehan sosial |
6. Norma agama menjadi materi pelajaran untuk dihapal dan dimengerti | 6. Norma agama ditanamkan kepada siswa sebagai landasan berprilaku dan bertindak di masyarakat |
7. Siswa dituntut menguasai pengetahuan agama | 7. Siswa dituntut menjadi kader pembangunan masyarakat yang taat beragama |
8. Peserta didik selalu terdiri dari satu agama yang sama | 8. Siswa yang berbeda agama bisa atau boleh mengikuti pelajaran agama lain dalam materi yang bersifat universal |
9. Guru agama menjalankan tugasnya secara mandiri untuk menyampaikan materi pelajaran | 9. Guru agama berkolaborasi dengan semua guru di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai agama |
Kurikulum Pendidikan Agama berbasis SP (social planning) adalah kurikulum yang berdasarkan pada teori konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan pada proses pembentukan. Dalam hal ini kurikulum disusun berdasarkan pada kondisi atau realitas sosial peserta didik.
Realitas sosial peserta didik maksudnya kenyataan yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan, baik di sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat). Peserta didik menghadapi kenyataan hidup secara berdampingan dan bersama-sama dengan intern umat beragama (aliran-aliran dalam satu agama) dan antar umat beragama (berbeda agama). Dalam kehidupannya, peserta didik menghadapi problem-problem sosial seperti kemiskinan, keterbatasan informasi, konflik sosial, kenakalan, perkelahian, vandalisme, pergaulan bebas, bahkan sampai ke problem narkoba.
Kurikulum Pendidikan Agama disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik untuk dapat menghadapi/mengatasi problem-problem sosial tersebut sehingga dapat mencapai kehidupan harmoni di masyarakat untuk menyempurnakan penghambaan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan Agama berbasis social planning diharapkan dapat:
1. Memberikan pencerahan
2. Menghidupkan jiwa
3. Memiliki ghiroh untuk berkembang
4. Memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi dalam kehidupan
5. Bertanggungjawab atas kemajuan agama dan bangsa[5]
b. Metode dan pendekatan yang up to date (sesuai, aktual)
1) Dari Teaching ke Learning
Dalam perkembangan pendidikan sekarang, paradigma teaching (mengajar) perlu diubah menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah, meminjam istilah Ivan Illich, menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa), tapi learner (yang belajar).
Paradigma learning juga jelas terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO, yaitu learning to think (belajar berpikir), learning to do (belajar berbuat/hidup), learning to be (belajar menjadi diri sendiri) dan learning to live together (belajar hidup bersama).
2) Belajar yang menyenangkan
Selama ini biasanya metode pengajaran lebih mementingkan subject matter dari pada siswa itu sendiri. Akibatnya siswa sering merasa “dipaksa” untuk menguasai pengetahuan dan melahap informasi dari para guru, tanpa memberi peluang kepada mereka untuk melakukan perenungan secara kritis.
Pada gilirannya kondisi semacam itu melahirkan proses belajar mengajar menjadi satu arah. Oleh Paulo Freire, metode ini disebut “gaya bank”. Akibatnya siswa tidak kreatif dan mandiri, apalagi untuk berpikir inovatif dan memecahkan masalah, sehingga hilang upaya untuk mengaktivasi otak secara optimal. Karena, untuk mengaktivasi otak secara optimal diperlukan suasana belajar yang menyenangkan, dan kesadaran emosional tidak boleh dalam keadaan tertekan.
Banyak istilah lain untuk menyebut pendekatan sejenis ini, seperti quantum learning, accelerated learning, learning revolution, atau edutainment. Suasana belajar yang disebut terakhir ini membuat otak kanan terbuka sehingga daya berpikir intuitif dan holistic yang luar biasa akan terangsang untuk bekerja.
3) Berpusat pada peserta didik (student centered)
Dalam hal ini mengajar diartikan sebagai upaya memberikan rangsangan (stimulus), bimbingan dan pengarahan, serta dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Jadi dalam mengajar yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan guru adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Dalam kaitan ini peran guru mengalami pergeseran dari yang semula sebagai satu-satunya pemberi informasi (teacher centered), menjadi orang yang bertindak (director and facilitator of learning).
4) Belajar dengan melakukan (action)
Setiap peserta didik akan memperoleh harga diri dan kegembiraan apabila diberi kesempatan menyalurkan kemampuan dan melihat hasil kerjanya. Belajar dengan melakukan perlu ditekankan karena setiap peserta didik hanya belajar 10 % dari yang dibaca, 20 % dari yang didengar, 30 % dari yang dilihat, 50 % dari yang dilihat dan didengar, 70 % dari yang dikatakan, dan 90 % dari yang dikatakan dan dilakukan. Dengan metode praktek, peserta didik akan menangkap 90 % dari yang diajarkan oleh guru. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan seorang filosof Cina, Confusious pada ±2400 tahun yang lalu: ”Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat. Apa yang saya kerjakan, saya paham. Apa yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai”.
c. Pemberian Motivasi
Keberhasilan sebuah kegiatan sangat tergantung pada faktor motivasi. Motivasi merupakan daya dorong seseorang untuk melakukan aktivitas. Motivasi menjadi faktor yang sangat berarti dalam pencapaian prestasi belajar. Setidaknya ada dua jenis motivasi yang perlu diperhatikan oleh guru, yakni motivasi yang berasal dari diri peserta didik (intrinsik) dan motivasi yang diakibatkan oleh rangsangan dari luar diri peserta didik (ekstrinsik).
Motivasi intrinsik dapat ditumbuhkan dengan mendorong rasa ingin tahu, mencoba, serta sikap mandiri dan ingin maju. Sementara itu motivasi ekstrinsik antara lain dapat dikembangkan dengan memberikan ganjaran (reward) atau hukuman (punishment).
4. Evaluasi (Penilaian) PAI
Dalam pembelajaran PAI, penilaian hendaknya diberikan lebih kepada aspek afektif (sikap) meskipun juga tetap memperhatikan aspek pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik) secara seimbang. PP Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi mengindikasikan bahwa penilaian terhadap aspek afektif seyogyanya adalah sebesar 75 %, sedangkan selebihnya (kognitif ) hanya 25 %.
D. PENUTUP
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah selama ini disinyalir kurang berhasil membentuk kepribadian muslim seutuhnya. Diantara penyebabnya yang paling penting adalah karena sajian kurikulum yang kurang tepat, yang meliputi tujuan, materi, metode dan evaluasi.
Oleh karenanya, “pendidikan Islam yang menghidupkan” adalah sebuah tawaran solutif dalam mengatasi problem kurang berhasilnya pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah tersebut. Pendidikan agama semacam ini diyakini dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, juga bisa mengakomodir semua kepentingan, keinginan dan cita-cita penggunanya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Model pendidikan seperti ini antara lain diilhami oleh pemikiran Fazlur Rahman dengan teorinya “Double Movement”, yang pada perkembangannya disebut sebagai pendidikan Islam berbasis social planning.
[1] Undang-Undang Dasar 1945 Beserta Amandemennya, Jakarta: Penerbit Citra Media Wacana, hlm. 78.
[2] Komaruddin Hidayat dalam Mel Silberman, Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani dan YAPPENDIS, hlm. xiv.
[3] Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, Yogyakarta, 2008, hlm. 52.
[4] Nazarudin, Manajemen Pembelajaran: Implementasi Konsep, Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2007, hlm. 162.
[5] Sutrisno, “Materi Kuliah Pengembangan Materi dan Kurikulum PAI”, Prodi PI/MKPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2009, hlm. 1-18.
DAFTAR PUSTAKA
Nazarudin, Mgs., Manajemen Pembelajaran: Implementasi Konsep, Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2007.
Sutrisno, Prof. Dr., “Materi Kuliah Pengembangan Materi dan Kurikulum PAI”, Prodi PI/MKPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2009.
.
_________________, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 2008.
Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos Wacana Ilmu, 2001.
Silberman, Mel, Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif, Terj. Sutrisno, dkk., Yogyakarta: Pustaka Insan Madani dan YAPPENDIS, 2007.
Undang-Undang Dasar 1945 Beserta Amandemennya, Jakarta: Penerbit Citra Media Wacana, tt.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar