SELAMAT DATANG DI SMAN 6 YOGYAKARTA SEKOLAH BERBASIS RISET

Jumat, 18 Juli 2014

Sejarah Nabi Muhammad SAW

Sejarah Nabi Muhammad SAW

 

A.   Dakwah Nabi di Makkah

DSC00824 Jahiliah adalah sebutan untuk sebuah zaman yang dilegalisasikan bagi masyarakat arab Mekkah sebelum Islam (kondisi pada saat Nabi Muhammad lahir dan mendapatkan tugas kenabian dan kerasulan). Kondisi ini dalam padangan awan dianggap daerah atau wilayah yang penuh dengan kemusyirikan dan kejahilan (kebodohan) sehingga Allah SWT. mengutus seorang nabi dan rasul untuk menetralisirnya hingga kondisi itu berubah.  Menurut Fuad Jabali, kondisi Mekkah yang disebut kebanyakan orang dengan istilah jahiliah dianggap tidak memiliki peradaban, atau sebagai tempat dimana hukum rimba berlaku.  Sebagai masyarakat yang terlibat dalam perdagangan global, mereka pasti memiliki kesepakatan-kesepakatan moral seperti kejujuran dan keterbukaan.  Sebab kalau tidak, mereka tidak mungkin bisa bertahan berdagang dengan skala besar untuk jangka waktu yang lama.  Pedagang pembohong tidak akan pernah bisa berdagang lama.  Tetapi tidak juga untuk menafikan adanya persoalan-persoalan pelanggaran moral dalam masyarakat Arab.  Oleh karena itu, Fuad Jabali mengungkapkan ; yang paling tepat untuk mengukur jahiliah adalah ketiadaan wahyu, yaitu system nilai yang sangat luhur yang diturunkan Allah SWT. melalui Nabi Muhammad SAW.  (Fuad Jabali, 2012:243-244).

Masa sebelum Islam disebut masa jahiliyah karena karena kehidupan (budaya politik dan ekonomi) mereka tidak dibangun diatas kebenaran wahyu, tetapi dibangun berdasarkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat saat itu, tetapi kebaikan dan keluhuran nilai-nilai itu tidak memiliki dasar spiritual yang benar dan kokoh.  Islam datang memberi dasar yang kokoh, terkadang tanpa mengubah bentuk kebaikan dan keluhuran yang ada, itulah gambaran masyarakat jahiliah saat itu.  (Fuad Jabali, 2012:245).

Bila kita memaknai arti jahiliah seperti itu, maka kontek jahiliyah bisa ada dan terjadi dimanapun bukan hanya terjadi pada kontek Mekkah, bisa  juga terjadi saat ini, yaitu ketika orang tidak lagi mengindahkan nilai nilai kebaikan yang digariskan wahyu Allah SWT.,  atau wahyu Allah SWT. tidak dijadikan rujukan dalam setiap perilaku kita sehari-hari, karena itu mungkin muncul jahiliyah-jahiliyah modern yang sangat beragam.

DAKWAH :  Kata dakwah berasal dari bahasa Arab “ da’a yad’u  da’watan  yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.  Oleh karena itu sub tansi dari dakwah adalah melakukan ajakan, seruan atau panggilan  ke jalan Allah SWT. yang hak dan benar.  Hal ini sesuai dengan al-Quran Surah An-Nahl ayat 125 :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾

Artinya :“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS.An-Aahl; 16:125).

 

Dakwah dalam Islam prinsipnya adalah mengajak manusia kejalan Allah SWT., yang harus  terus menerus dilakukan seperti yang telah dicontoh oleh Rasulullah.  Beliau  dakwah selama 13 tahun tanpa henti sampai ia selesai melaksanakan tugas-tugas kenabian dan kerasullanya, baik di Makkah maupun di Madinah.

Abul Ala’ Al-Maududi berpendpat  Dakwah adalah panggilan Ilahi dan Rasul mengajak manusia memiliki nilai-nilai suci dan agung.  Dakwah adalah menghidupkan manusia, lalu menghidupkan panca indera, daya pemerhati, daya rasa, daya ciptanya, menghidupkan dhamir, hati nurani dan bashirah.  Menghidupkan manusia yang seimbang dari segi ilmu, iman dan amal.  Ibadah, ikhtiar dan doa. (Abdul Azij bin Hajrin :2012:1)

Dengan demikian makna dakwah begitu luas dan dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk di dalamnya umat manusia yang sudah mendapatkan hidayah yang diberi Allah SWT., karena hakikatnya manusia memiliki fitrah untuk dapat menegakan kebenaran dan keadilan.  Namun untuk dapat berdakwah dengan baik diperlukan dukungan strategi yang tepat.

Dakwah Rasulullah  di Makkah menggunakan  berbagai strategi, di antaranya  melalui :

1.    Dakwah secara sembunyi-sembunyi ;

Dakwah secara sembunyi dilakukan seiring  dengan perintah Allah SWT. (QS.  Asy-Syura: 214) :

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ ﴿٢١٤﴾

Artinya :“Dan ancamlah keluargamu yang paling dekat“

 

Pada saat itu Rasul mengajak kelauarga dan karib kerabat yang paling dekat, mulai dari istri, keponakan, sampai kepada kawan dekat yang dikenal dengan Assabiqul Awwalun ; yaitu : Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan  Abu Bakar;.

Dengan dakwah secara sembunyi menunjukan perkembangan yang cukup baik, dimana daya dukung  terhadap Rasul terus meningkat, terutama dukungan dari keluarga dan sahabatnya yang meningakat.  Seperti halnnya  Abu Bakar melajutkan ajakannya kepada sahabat dekatnnya yang lain hingga ia masuk Islam, mereka adalah ; Abdul Amar, Abu Ubaidah, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Saad bin Abu Waqqas dan Tahalhah bin Ubaidillah.

Dakwah secara sembunyi dilakuan sebagai setrategi untuk menghimpun kekuatan secara bertahap hingga kaum Muslimin memiliki keberanian untuk menampakan diri dan akhirnya dapat berdakwah dengan terang-terangan, pada tataran dakwah ini pula terbentuk kominitas yang militan karena terbina ukuwah yang kuat melalui pertemuan-pertemuan rutin yang langsung dipimpin oleh rasulullah SAW.

2.    Dakwah secara terang-terangan

Setelah dakwah secara sembunyi  berjalan dengan baik, Allah menurunkan peritah kembali untuk melanjutkan dakwah secara terang-terangan melalui wahyunya  (QS Al-Muddatstsir: 1-7);

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ ﴿١﴾ قُمْ فَأَنذِرْ ﴿٢﴾ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ ﴿٣﴾ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ﴿٤﴾ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ ﴿٥﴾ وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ ﴿٦﴾ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ ﴿٧﴾

Artinya : “Hai orang yang berselubung.  Berdirilah, lalu ancamlah.  Dan akan Tuhanmu hendaklah besarkan.  Dan akan pakaianmu, dan hendaklah engkau bersihkan.  Dan akan maksiat hendaklah engkau jauhi.  Dan janganlah engkau memberi karena hendak mendapat balasan banyak.  Dan kerana Tuhanmu hendaklah engkau bersabar . ”ayat lain mengungkapkan “ Lantaran itu berterus terangglah dengan apa yang kau diperintah, dan berpalinglah dari orang orang musyirikin. ”

 

Merujuk pada ayat itu, Nabi Muhammad Saw mendapatkan tugas baru untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, dimana dakwahnya tidak lagi bersembunyi akan tetapi harus dilakukan secara terbuka.

Dalam melaksanakan dakwah tahapan ini, Rasulullah mengawali dengan mengumpulkan Bani Hasyim dan orang-orang Quraisy, dengan gagah berani beliau naik ke Bukit Safa dan menjelaskan pokok-pokok ajaran Islam tentang tauhid, iman kepada hari kiamat, menentang khurafat, kemusyirikan dan menjelaskan tentang sembahan-sembahan berhala yang tidak memberi manfaat untuk mereka dan menjelaskan pula tentang ke madharatnnya (Fika Sulistiani : Blog 03;51 )

Menurut Haikal  ketika beliau berbicara dibukit sofa sampai mengingatkan kaum Quraisy dengan kata-kata… Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi  siksa yang sungguh berat, “ katanya .  ‘ Banu Abdl –Muttalib, Banu’Abd Manaf, Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad .  Allah memerintahkan aku  memberikan peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat, baik kehidupan dunia atau akhirat.  Tak ada sesuatu bagian atau keuntungan  yang di dapat kecuali hanya ridha dari Allah. Kuberikan kepadamu, selain kamu ucapkan Tak ada tuhan selain Allah. ”   (Haikal :2001 :92,).  Begitu ucapan beliau ketika memulai dakwah dengan terang-terangan, sebagai bukti beliau sudah siap dan tidak ragu untuk melaksanakan perintah Allah, padahal ia tahu dan paham akibat dan konsekwensi yang ia akan tanggung dari apa yang ia lakukan, namun dengan bekal keimanan yang kuat tidak sedikitpun ragu akan apa yang kan menimpa dirinya, karena yakin Allah akan bersamanya.  Pada periode dakwah secara terang-terangan ini juga telah menyatakan diri masuk Islam dari kalangan kaum kafir Quraisy, yaitu: Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) dan Umar bin Khattab.  Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam pada tahun ke-6 dari kenabian, sedangkan Umar bin Khattab (581-644 M).

3.    Hijrah

Rasulullah SAW. menyadari bertul, bahwa sebagai konsekwensi dari dakwahnya akan sangat banyak, termasuk ganguan dan ancaman yang nyata dari kaum Quraisy yang begitu kejam dan menghinakan kaum Muslimin, sebab dari hari kehari pengikut nabi terus bertambah  dan semakin banyak yang berakibat terhadap merasa terganggunya penduduk Mekkah yang berlainan agama  anutannya.

Seperti dikutip oleh Anshir, “ bahwa setelah berbagai ganngunan dan siksaan kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad, keluarganya, dan ummat muslim begitu hebat, maka Nabi menganjurkan kepada para shahabat dan pengikunya untuk berhijrah.(www//anshir. com/2012). Hijrah yang  dianjurkan pertama kali ke Ethiopia (Negeri Syam), yang kedua ke Tahif dan yang ke tiga ke Madinah.

Hijrah dianggap sebagai strategi dakwah  karena dengan cara itu dapat menyelamatkan ummat dan dapat menjamin perkembangan Islam ke depan.  Menurut Adityanugroho, “ bahwa hijrah adalah salah satu strategi yang luar biasa dari Allah.  Sebab itu, mengajarkan kepada kita bahwa dalam berdakwah itu harus ada stategi.  Namun strategi itu akan lemah manakala mengandalkan akal dan pemikiran manusia, siapapun dia.  Strategi  itu akan kuat dan unggul jika datang dari Allah,  karena strategi-Nya pasti mengungguli semua manusia dan yang memusuhi Islam dan Rasul Saw.  Siapapun mereka .  Pemahaman seperti ini diajarkan Allah kepada Rasul-Nya sejak awal beliau menerima amanah dakwah (QS. Al-‘A’raf(7): 182-183, Al-Qalam (68:Al-Jathiyah(45), Al-Muddathir (74):11-17, Al-Muzzamil (73):11-14 (Adityanugroho : Pelajaran Hijrah : 2010 : 1).

Hijrah sebagai startegi yang digagas oleh Rasulullah dengan bimbingan wahyu dari Allah demikian berhasil hingga Islam dapat menguasai seluruh daerah jajirah Arab dalam tempo yang singkat.

4.    Keteladanan

Keberhasilan dakwah Rasulullah dalam membina ummat salah satunya  karena keteladanan.  Dalam sejarah islam terungkap bahwa Muhammad sebelum menjadi Nabi dan Rasul ia sudah menjadi orang yang di percaya oleh masyarakat Quraisy, hal ini dibuktikan dengan ia mendpatkan gelar Al-Amien setelah berhasil mendamaikan klan-klan arab dalam memperbaiki kerusakan kabah dan meletakan hajarul aswad, belum lagi beliu menjadi pribadi yang berhasil memikat ummat untuk mempercai kepribadiannya yang amanah dan layak dijadikan teladan bagi kebanyakan orang jaman itu.  Sebagai contoh : Ketika Fathu Mekkah, dan Abu Sufyan bertanya kepada Nabi SAW “Apa yang akan diperbuat terhadap kaum kafir Quraisy?. ” Beliau hanya menjawab : “Hari ini adalah hari kasih sayang”.  Setelah melaksanakan sholat Rosul SAW berkhutbah di depan pintu Ka’bah : “Hai kaum Quraisy, apa yang hendak aku perbuat?”.  Mereka menjawab “Yang baik-baik, wahai saudara pemurah, dan anak dari yang pemurah”.

Maka Rasul SAW bersabda : “Aku akan berkata seperti ucapan Yusuf kepada saudaranya, “Hari ini tak ada cercaan bagi kalian. Kalian bebas”. Dengan kelembutannya Nabi SAW. mengampuni kesalahan-kesalahan orang-orang kafir, padahal sebelumnya mereka sering melakukan teror, siksaan, dan membantai umat Islam.

Ketika Rosul SAW hijrah ke Thoif, beliau dilakukan semena-mena oleh penduduk Thoif, sehingga badannya penuh dengan luka dan darah.  Namun Nabi berdo’a kepada Allah SWT dengan penuh rasa bersalah karena tidak berhasil berdakwah di negri Thoif, dalam do’anya tidak satu katapun yang menyalahi atau mengutuk perlakuan penduduk Thoif terhadap dirinya, beliau hanya memohon ampunan dan petunjuk kepada Allah SWT.  Maka Rosul SAW kembali ke kota Makkah, dan di pertengahan jalan malaikat penjaga gunung minta izin kepada Rosul SAW untuk menjatuhkan dua bukit di sekitar Thoif ke tengah-tengah penduduk yang ingkar itu.  Tapi Rasul SAW menjawab : “Jangan, aku berharap anak cucu dari mereka nanti menjadi kaum penyembah Allah. ”Lalu Nabi berdo’a “Ya ALLAH berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak tahu”. Dengan kelembutannya Nabi SAW memaafkan penduduk Thoif, bahkan Nabi SAW mendo’akan mereka agar diberi hidayah. (Blog cahaya Iman: Maret:2011; hal 1).

Berdasakan gambaran sejarah diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa keteladanan merupakan bagian penting untuk menentukan keberhasilan dakwah, sebagaimanan rasulullah contohkan kepada umatnnya.

RASULULLAH :  Muhammad adalah Rasul Allah bagi ummat Islam  yang memiliki tugas untuk menyampaikan dan  mengajarkan ajarannya   agar ummat  tidak terjerumus pada kesesatan : Seperti apa yang terungkap dalam ayat berikut :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿٢﴾

 

Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).  Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Surat Al-Jumu’ah, 62:2).

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ﴿٩﴾

Artinya : Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci. (QS. Al-ashaf, 61:9).

 

Kedua ayat di atas begitu jelas, mengungkapkan bahwa tugas Rasulullah adalah adalah memberikan ajaran kepada umatnya, agar tetap bersih, suci dan tidak sesat, serta memberikan bimbingan, petunjuk kepada agama yang benar hinggga tidak terjerumus pada kemusyrikan.

Rasul Muhammad SAW di perintahkan oleh Allah untuk menegakan keadilan berdasarkan kitab atau undang-undang yang bersifat mutlaq yaitu  al-Quran :

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ ﴿٢٥﴾

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.  Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.  Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS.  Al-Hadid, 57:25).

 

Perjuangan Rasulullah SAW. dalam menegakan kebenaran dan keadilan begitu gigih dan sungguh-sungguh, meskipun harus mempertaruhkan jiwa, raga dan materi demi tegaknya agama Allah.  Menurut Jalaludin Rahmat, bahwa Muhammad sudah mengubah negeri arab yang gelap kepada gemerlapnya cahaya yang mengagumkan  Apakah perubahan besar yang dilakukan Nabi Muhammad saw? Gerangan percikan cahaya langit apakah yang mengubah gembala unta di sahara menjadi penakluk-penakluk dunia? Kita dapat membuat daftar panjang: dari syirik ke tawhid; dari kepongahan ras ke persamaan; dari kejahilan ke ilmu pengetahuan; dari kezaliman ke keadilan; dari perpecahan ke persaudaraan; dari keserba-bolehan ke kesucian; dari penindasan perempuan ke penghormatan.

a.    Dari Syirik ke Tawhid

Masyarakat jahiliah disebut Al-Quran sebagai kaum musyrikin.  Mereka memuja berbagai berhala.  Bukan hanya berhala dari kayu dan batu.  Gemintang, pepohonan, unta, kepala suku, jin, tradisi leluhur, atau apa saja dapat diberhalakan.  Berhala-berhala itu telah membelenggu masyarakat -membungkam kebebasan berbicara, mematikan pikiran kritis, dan melumpuhkan perlawanan kepada tirani.  Manusia mempersembahkan kepasrahan dirinya kepada banyak berhala.  Karena itu, mereka takut kepada banyak hal.  Jiwa mereka gelisah karena harus menaati banyak tuan.  Dari puncak Bukit Hira turun Sang Rasul.  Ia membawa firman Tuhan: Tidaklah mereka diperintah kecuali menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.  (QS.  Al-Bayyinah: 5); Dan Tuhan kamu adalah Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Mahakasih Mahasayang (QS.  Al-Baqarah: 163).  Sekarang bangsa Arab meninggalkan semua berhala dan menyerahkan dirinya kepada Allah saja.  Mereka tidak memuja siapa pun kecuali Allah.  Mereka tidak mencintai siapa pun dengan puncak kecintaan selain Allah.  Harga diri mereka timbul.  Ketakutan hilang.  Kegelisahan digantikan dengan ketentraman.

Ketika pasukan umat Islam bergerak menuju Persia, seorang sahabat diutus untuk menemui Panglima Rustam di istananya.  Panglima ini dilaporkan sempat mengejek tentara Islam dengan mengatakan: “Buat menyambut para gembala unta, cukuplah aku kirimkan gembala-gembala babi. ” Ia mengira bangsa Arab yang dihadapinya adalah bangsa yang belum diubah dari syirik ke tawhid.

Utusan pasukan Islam datang dengan pakaian yang lusuh dan mengendarai keledai.  Ia masuk ke istana dengan penuh kepercayaan diri.  Keledainya diseret ke dalam balai pertemuan dan diikat pada salah satu kursi di istana.  Rustam bertanya, “Bangsa macam apakah kalian ini?” Sahabat itu menjawab, “Nahnu qawmun ibta’atsana Allâh li yukhrijan nâs minazh zhulumât ilân nûr, min jauwril adyân ilâ ‘adlil Islâm, min ‘ibâdatil ‘ibâd ilâ ’ibâdatillâhi wahdah.  Kami adalah bangsa yang dipilih Tuhan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dari penghambaan kepada hamba ke penghambaan kepada Allah saja. ” Ketika orang-orang Persia menghinanya dengan mengonggokkan tanah di atas punggungnya, utusan ini tertawa gembira, “Lihat, mereka telah menyerahkan tanahnya kepada kita. ” Kelak bangsa Persia bukan hanya menyerahkan tanahnya, mereka juga menyerahkan hatinya untuk Islam.

Seorang pemikir Persia, Ali Syariati, dalam kepribadian “Rasulullah SAW.: Sejak Hijrah hingga Wafat”, menulis tentang keberhasilan Nabi saw dalam mencabut akar-akar kemusyrikan dengan meletakkannya pada perspektif masa depan umat: “Akar-akar kemusyrikan telah dicerabut dari seluruh penjuru Jazirah Arabia.  Bait Umat Manusia yang didirikan oleh Bapak Agama yang Lurus, Ibrahim, telah disucikan dari noda-noda keberhalaan, dan hukum Allah dan manusia telah tertanam pula dalam kehidupan masyarakat yang saling bersaudara satu sama lain.  Namun Muhammad cukup sadar untuk tidak silau oleh kemenangan-kemenangan yang diraihnya.  Dia adalah orang yang mampu memahami umatnya lebih dari siapapun, dan dapat melihat dengan jelas adanya api kemunafikan, dendam kekabilahan, semangat primordial dan moral jahili yang bersembunyi di belakang tabir persatuan umatnya yang telah dibentuk oleh kekuatan iman dan tajamnya pedang politik.

“Muhammad sadar betul bahwa, kendati dia mampu menyatukan para pemimpin kabilah dan pembesar-pembesar Quraisy di bawah panji Islam, namun pendidikan jiwa, penanaman keimanan yang baru di dalam kalbu dan akal umat, dan pematangan sikap beragama yang baru dipisahkan dua puluh tahun dari akal-akal jahiliahnya itu, tidak bisa tidak, masih membutuhkan waktu yang sangat lama dan mesti melalui beberapa generasi.

“Nabi, sejak semula, sudah menyadari adanya ancaman-ancaman tersebut.  Namun yang lebih ditakutkannya adalah masa depan umatnya yang belum lama diikat oleh tali persaudaraan keimanan dan yang masih silau dengan kemenangan-kemenangan yang diraihnya bila dia tinggalkan nanti.

“Sang ayah akan segera meninggalkan alam semesta ini.  Akan tetapi bagaimana nasib bocah yang usianya baru dua puluh tahun dan yang dalam tubuhnya mengeram ratusan penyakit itu, sedangkan dia harus berdiri pada kedua telapak kakinya sendir, sesudah ayahnya meninggal, seraya harus menghadapi angin kencang yang menerjang dirinya dari segala penjuru?”

Dengan cara apakah sang Ayah melindungi masyarakat Islam yang bocah ini dari bahaya terbentuknya berhala baru? Ia mengamanatkan kepada umatnya untuk mengikuti pembawa agama yang tidak memasukkan kepentingan yang rendah pada ajaran agama, kepada mereka yang dibersihkan dari segala nista dan disucikan Allah sesuci-sucinya, kepada umat yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33.  Ia bersabda: “Aku tinggalkan bagi kamu dua pusaka yang jika kamu berpegang teguh kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya”, demikian rujukan yang pasti dari Allah dan Rasul-Nya, agar umat selamat hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.

b.    Dari Kepongahan Ras kepada Persamaan

Karena suku-suku bangsa ini terasing di sahara, mereka mengembangkan kecintaan kepada suku sebagai cara agar mereka bertahan hidup.  Kesetian kepada suku kemudian berkembang menjadi kebanggaan rasial.  Mereka senang menghitung prestasi-prestasi sejarah yang diukir oleh nenek-moyangnya.  Dari keturunan siapa mereka berasal dijadikan ukuran derajat mereka.  Karena itu, dalam bahasa Arab keturunan disebut juga sebagai hasab (berasal dari hasiba, menghitung). 

Nabi saw menghapuskan kebanggaan ras atau etnis.  Satu-satunya ukuran kemuliaan adalah amal salih.  Ia menyampaikan firman Tuhan: Bagi setiap orang derajat berdasarkan amal yang dilakukannya (QS.  Al-An’am: 132).  Hakikat kemanusiaan tidak terletak dalam darah tetapi pada akhlaknya.  Secara perlahan-lahan, Nabi saw memotong satu demi satu tonggak kepongahan ras.

Ia memotong kebiasaan pernikahan yang didasarkan kepada kesederajatan dalam keturunan.  Ia menikahkan budak-budak belian dengan perempuan bangsawan.  Ia bersabda, “Aku menikahkan Zaid bin Haritsah kepada Zainab binti Jahasy dan aku menikahkan Miqdad kepada Dhiba’ah binti Zubair bin Abdil Muthallib supaya mereka mengetahui bahwa kemuliaan yang paling tinggi adalah Islam dan bahwa yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bagus keislamannya. ” (Kanz Al-Ummâl 313; Makârim Al-Akhlâq 1:452-1546).

Ia memotong kebiasaan orang Arab untuk merendahkan orang ‘Ajam dengan memberikan penghormatan kepada para sahabat yang berasal dari luar Arab, seperti Salman al-Farisi.

“Pada suatu hari Salman sedang duduk bersama orang-orang Quraisy di mesjid.  Mereka sedang membangga-banggakan keturunan mereka secara bergiliran.  Ketika sampai kepada Salman, Umar bin Khatab bertanya kepadanya, ‘Katakan kepadaku siapa kamu? Siapa bapakmu? Apa asal-usulmu?’ Salman menjawab, ‘Aku Salman anak hamba Allah.  Dahulu aku tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepadaku melalui Muhammad saw.  Dahulu aku miskin, lalu Allah memperkaya aku dengan Muhammad.  Dahulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku dengan Muhammad.  Inilah nasabku dan inilah hasab-ku. ’

“Ketika Nabi keluar dan menemukan Salman berbicara kepada mereka, Salman berkata kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah ingin aku adukan apa yang aku dapatkan dari mereka.  Aku duduk bersama mereka dan mereka mulai menjelaskan nasab mereka dan membangga-banggakannya.  Ketika sampai kepadaku, Umar bin Khaththab berkata kepadaku: Katakan kepadaku siapa kamu? Siapa bapakmu? Apa asal-usulmu? Aku menjawab aku Salman anak hamba Allah.  Dahulu aku tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepadaku dengani Muhammad saw.  Dahulu aku miskin, lalu Allah memperkaya aku dengan Muhammad.  Dahulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku dengan Muhammad.  Inilah nasabku dan inilah hasabku. ’

“Rasulullah SAW. bersabda, ‘Hai orang-orang Quraisy sesungguhnya hasab manusia itu adalah agamamu, jati dirinya adalah akhlaknya, dan asal-usulnya adalah akalnya. Allah SWT. berfirman: Sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu berbagai suku bangsa dan golongan supaya kamu saling mengenal.  Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa. ’ (QS.  Al-Hujurat: 13)’ Selanjutnya Nabi saw berkata kepada Salman: ‘Tidak ada seorangpun di antara mereka yang lebih utama dari kamu kecuali karena ketakwaan kepada Allah.  Jika kamu lebih takwa maka kamu lebih utama di atas mereka.” (Bihâr Al-Anwâr 22:511).

Misi Rasulullah SAW. itu dilanjutkan oleh para pengikutnya sepanjang sejarah.  Sekali-kali kebiasaan jahiliah muncul, tetapi para mukmin yang salih mengembalikannya lagi pada Sunnah Nabi.  Pada zaman Umayyah, misalnya, dibedakan antara orang Arab dengan bukan Arab.  Tetapi tradisi Umawiyyin ini tidak berbekas banyak pada kaum Muslimin.  Suatu saat para budak berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan kerajaan Islam dengan nama Dinasti Budak (Mamlûk).

Ketika Declaration of Human Rights dikumandangkan, umat Islam disadarkan kembali pada warisan mulia dari Nabi mereka.  Warisan yang terkadang kita onggokkan dalam puing-puing sejarah keemasan Islam.  Simaklah bagaimana Syaikh Ja’far Subhani menulis pada kalimat-kalimat terakhir bukunya, Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW.: “Beliau menegakkan hak-hak manusia ketika hak-hak itu sedang diserobot; beliau melaksanakan keadilan ketika kezaliman merajalela dimana-mana; beliau memperkenalkan kesamaan ketika diskriminasi yang tak semestinya sedang lumrah; beliau memberikan kebebasan ketika manusia sedang berkeluh kesah dalam penindasan, kekejaman dan ketidakadilan.

“Beliau membawa risalah yang mengajarkan manusia untuk taat dan bertakwa kepada Allah saja, memohon pertolongan dari Dia saja.  Risalahnya yang universal meliputi semua aspek kehidupan manusia, termasuk hak-hak, keadilan, persamaan, dan kebebasan.

 

MEKKAH : Mekkah berasal dari kata “ imtakka” artinya mendesak’ atau “mendorong”, Kota ini disebut “Mekkah” karena manusia berdesakan disana (Mujam Al-Buldan, kata Mekkah), Allah berfirman dalam al Quran :

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكاً وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ ﴿٩٦﴾

Artinya: ”Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah   Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS, Ali Imran, 3: 96) Mujam Al-Buldan ; Yaqut Al-Hamawi, Mauqi Al-Warraq.

 

Oleh karena itu, nama Mekkah secara historis merupakan nama negeri atau daerah yang dikatakan istimewa, karena namanya disbutkan langsung oleh Allah dalam al-Quran sebagai kota yang diberkahi dan menjadi hidayah bagi manusia seluruh Alam.

Secara geografis Kota Mekkah terletak sekitar 600 km sebelah selatan kota Madinah, kurang lebih 200 km sebelah timur laut kota Jeddah. Kota ini merupakan lembah sempit yang dikelilingi gunung gunung dengan bangunan Ka'bah sebagai pusatnya .  Dengan demikian, pada masa dahulu kota ini rawan banjir bila di musim hujan sebelum akhirnya pemerintah Arab Saudi memperbaiki kota ini dan merenovasi kota ini.  Seperti pada umumnya kota kota di wilayah Arab Saudi, kota ini beriklim gurun(Wardatul Asiah: 2013: 1).

Menurut Fuad Jabali, Mekkah juga disebut  kota dagang dan sangat ramai hingga menjadi kota tujuan kafilah-kafilah di negeri arab.  Sebagai konsekwensinya tercipta hubungan-hubungan yang tidak sehat diantara penduduk Mekkah sendiri.  Salah satunya masalah permodalan menjadi isu penting yang tidak terelakan, karena siapa yang memilki modal yang kuat maka ia semakin besar pengaruhnya, demikian sebaliknya, bagi pemodal kecil akan terhempas dan tertatih-tatih, dan akan mengalami kebangkrutan, karena persaingan juga sangat keras.

Orang-orang Quraisy Makkah suka melakukan dua perjalan dagang, pada musim dingin ke Yaman Selatan dan pada musim panas ke Syiria utara.  Pada musim dingin kapal-kapa berlabuh di Yaman Selatan membawa komoditi dagang terutama dari wilayah-wilayah di jalur dagang dari Cina, Asia Tenggara, India dan Persia.  Karena kapal-kapal itu hanya datang sekali dalam satu tahun, maka tentu saja yang di bawa adalah komoditi dagang yang mereka kumpulkan selama setahun itu; dan artinya orang-orang Mekkah pun hanya mendapatkan suplai dagang hanya sekali dalam setahun.  Kalau saja waktu barang dagangan datang mereka tidak memiliki modadal yang cukup merekapun tidak dapat barang selama setahun pula dan itu artinya tidak dapat mata pencaharian selama setahun pula.  Solusi yang mereka ambil hanya pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi dan menjerat mereka melalui rentenir, dan itulah riba yang akan sangat menyengsarakan dan menjatuhkan orang jadi miskin, kareana kemungkinan dagang tidak selalu utung sementara ia harus mengembalikan modal dengan bunga tinggi (Fuad Jabali :2012 : 2060-264).

Hal lain yang istimewa dari kota ini disebut sebagai kota haram, menurut Sofiyudin, artinya, orang kafir tidak boleh masuk wilayah ini.  Non-Muslim dilarang memasuki kota Mekah dan Madinah sampai batas tertentu.  Pemerintah Saudi menandai batas itu sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW.  Itu sebabnya dua kota ini disebut haramain atau dua Tanah Haram.

Batas tanah haram yang berlaku semua ketentuan tentang tanah haram itu adalah batas miqat makani sebagaimana yang berlaku buat jamaah haji.  Maka pada batas-batas miqat itulah seorang non muslim sudah tidak boleh lagi masuk ke dalamnya.  Di sebelah timur ada Dzatu ‘Irqin, yaitu batas orang yang masuk dari arah negeri Iraq.  Agak ke Selatan masih di timur ada Qarnul Manazil.  Paling selatan, yaitu dari arah negeri Yaman, ada Yalamlam.  Sedangkan dari arah utara, beberapa kilometer dari Kota Madinah, ada Bi’ru Ali, atau disebut juga dengan Dzil Hilaifah.  Di sebelah Barat ada Juhfah atau disebut juga Rabigh. (Sofudin Muhammad, 2013: 1) (Sejarah kota Makkah sebagai kota Haram; Makalah 25 Mei 2013).

Mengenai tanah haram ini Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاء إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿٢٨﴾

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini.  Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS, At-Taubah;9 : 28).

 

Demikian Allah menjelaskan dengan terang bahwa kota Mekkah itu adalah kota yang distimewakan untuk kaum yang beriman, hingga kaum musyirik dan kafir haram hukumnya untuk menghuni wilayah tersebut dan hal itu terjaga secara utuh tanpa ada celah untuk diganggu dan dicederai.  Orang kafir atau musyrik siapapun yang memasuki wilayah itu pasti akan diketahui oleh kaum muslimin.

 

B.   Dakwah Nabi di Madinah

HIJRAH : Kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah sudah barang tentu merupakan bagian dari proses sejarah Islam yang sangat monumental, karena dari peristiwa itulah menunjukan bagaimana kecemerlangan seorang pemimpin memikirkan tentang prospefek umatnya, hingga melakukan sesuatu yang tepat dan cermat, sebagai gambaran dari sifatnya yang sidiq, amanah, fathonah dan tablig . Ia berpikir lugas dan strategis hingga menjamin stabilitas dakwahnya berlangsung terus tanpa terhenti oleh gangguan-gangguan yang mengancamnya. Salah satu yang Rasulullah Saw lakukan adalah perintah kepada umatnnya melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.

Hijrah yang dilakukan Kaum Muslimin sebagai strategi antisipatif, dengan tujuan untuk menyelamatkan ummat, karena tekanan kaum Quraisy dengan berbagai ancaman dan intimidasi serta intrik yang begitu kejam, seperti dijelaskan oleh Aziz Akbar Hakim dalam tulisannya  “ Bahwa bangsa quraisy dengan segala upaya akan melumpuhkan gerakan Muhammad Saw. Hal ini di buktikan dengan pemboikotan yang dilakukan mereka kepada Bani Hasyim dan Bani Mutahlib. Di antara pemboikotan tersebut adalah ; memutuskan hubungan perkawinan, memutuskan hubungan perdagangan, ziarah dan lain-lainnya.  Pemboikotan tersebut tertulis di atas kertas shahifah atau plakat yang di gantungkan di kakbah dan tidak akan di cabut sebelum Nabi Muhammad Saw. menghentikan gerakannya. Nabi Muhammad Saw. merasakan bahwa mekkah tidak lagi sesuai di jadikan pusat dakwah Islam…” (Blog Aziz Akbar Hakim :  2012:2).

Pelaksanaan hijrah dari Makkah ke Madinah berlangsung dengan penuh strategi yang dirancang Rasulullah Saw. agar dapat berlangsung dengan baik,”…Nabi tidak langsung mendeklarasikan rencana hijrah secara terbuka kepada ummatnya” … tetapi Dia meminta kepada pengikutnya meninggalkan Mekkah ke Madinah secara diam-diam, tidak bergerombol dan hanya membawa bekal secukupnya. Hal ini di lakukan agar orang-orang Quraisy tidak sadar bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi…” Nabi sendiri memutuskan untuk tidak dulu meninggalkan Mekkah sampai seluruh pengikunya pergi dengan selamat..(Fuad Jabali: 2011:231-231).

Ketika orang kafir Quraisy mengetahui bahwa pendukung Rasulullah pada hijrah ke Madinah, mereka berusaha untuk mencegah agar Muhammad tetap di Makkah, sebab mereka hawatir Rasulullah dapat membangun kekuatan ummat Islam di Madinah, hingga kediaman Nabi terus di awasi. Namun Nabi terus berusaha sekuat tenaga untuk keluar menuju Madinah dengan keyakinan bahwa ia harus memenangkan pertarungan itu dan pasti Allah akan menjaminnya. Tidak lama kemudian ia merencanakan hijrah ke Madinah bersama sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan berhasil mengelabui kaum Quraisy yang mengepung rumahnya dengan strategi yang tepat, hingga ahirnya sampai di Madinah dengan selamat.

Menurut fuad Jabali (2012; 233) ” sepeninggal Nabi, konsep hijrah telah memfasilitasi masyarakat Muslim membangun pondasi masyarakat Islam di wilayah-wilayah baru. Tidak bisa dihindari kalau perluasan Islam pada ahirnya mempertemukannya dengan Persia dan Romawi yang menjadi dua kekuasaan besar saat itu. Para pengganti Nabi terutama Umar harus memobilisasi masyarakat Islam kewilayah-wilayah yang jauh dari Madinah untuk menghadapi tentara Persia dan Rumawi yang dikenal sangat kuat…”..menghadapi tantangan itu Umar mendorong masyarakat Muslim, terutama orang-orang Arab yang masih momad untuk berhijrah ketempat-tempat yang baru.

Asosiasi antara masuk Islam dan hijrah sedemikian kuat sehingga, bagi masyarakat Muslim, seseorang yang masuk Islam tetapi tidak berhijrah dianggap tidak sempurna keimanannya, atau barang siapa yang tidak berhijrah maka celakalah. Oleh karena itu konsep ini sangat efektif dalam membangun kekuatan baru Islam, hingga Madinah kini memilki pasukan yang sangat besar sampai kaum Quraisy pun tidak memiliki keberanian untuk menghadapinya. Ini terjadi ketika Nabi memutuskan melakukan Umrah ke Makkah dengan membawa orang-orang Muslim yang sudah berada di Madinah. Ini semacam unjuk kekuatan baru kepada kafir Quraisy dan berhasil. Mereka ketakutan dan meminta Nabi untuk engurungkan niat umrahnnya. Setelah mengalami negosisiasi, perdamaian Hudaibiyah pun terjadi. Karena kafir Quraisy melanggar perjanjian yang disepakati, Nabi memutuskan membawa pasukannya ke Mekkah dan berahir dengan jatuhnya Mekkah ketangan Muslim tanpa pertumpahan darah.

Kontek hijrah dalam Islam tidaklah hanya sederhana dengan istilah berpindah tetapi lebih luas , yaitu sebagai strategi untuk melakukan sebuah perubahan besar agar ummat Islam dapat membuktikan diri sebagai rahmatan lil’alamin.  Kontek lain dapat dijadikan pelajaran berharga dari  hijrah Nabi ke  Madinah adalah  bagaimana contoh yang realistis dalam jihad fii sabililah dengan ihlas, Ia berjuang tanpa kenal lelah demi masa depan umat yang lebih baik, walaupun dengan pengorban yang besar dan tak ternilai harganya, namun dengan keyakinan pasti Allah bersamanya, ahirnya tujuan yang diinginkan tercapai.

STRATEGI DAKWAH : Dakwah Rasulullah di Madinah tidak lepas dari strategi, karena dengan itulah dapat meniti hasil maksimal. Berbicara masalah konten strategi ( Langkah Langkah ) dakwah Rasul tidak lepas dari menjelaskan langkah-langkah Rasul dalam melaksanakan dakwahnya selama di Madinah hingga ia berhasil mendirikan sebuah Darr-Al-Islam. Ketika Nabi menginjakan kakinya di Madinah, ada beberapa langkah yang Beliau lakukan dalam kerangka dakwahnya, antara lain :

1.    Memperhatikan aspek Sosial, aspek Pikologis dan aspek Pedagogis

Begitu beliu tiba di Madinah Ia disambut oleh kaum Muslimin dengan sambutan yang demikian mengharukan dan menggembirakan, Beliau tidak lantas singgah pada rumah seseorang, tetapi ia biarkan untanya berhenti dimana sesaui dengan kesepakatan  para sahabatnnya. Mengapa Rasul bertindak seperti itu? Rasul memahami betul tentang kondisi sosial, dan psikologis masyarakat Madinah seperti itu, mereka semua pasti menginginkan pemimpinnya yang terhormat untuk singggah di rumahnya, pasti mereka merasa bangga dan terhormat bila yang ia idolakan sempat singgah di rumahnya, bila tidak bijaksana maka dapat terjadi krisis sosial yang kurang bagus dan mungkin ada beberapa kelompok yang merasa tidak dihargai. Oleh karena itu ada aspek pedagogis yang beliu lakukan, agar semua pihak merasa terayomi, yaitu membiarkan unta yang ditumpanginya dimana berhentinya dan di situ Rasul singgah dan distulah masjid dibangun.( kalimatnya disederhanakan dan lebih jelas )

Strategi dakwah dengan memperhatiakan apek sosial, psikoligis dan aspek pedagogis, sangatlah tepat karena dengan pendekatan itu dakwah akan berlangsung bijak dan tidak menimbulkan konplik sosial yang membahayakan, dan pada sisi itupula akan terjadi keseimbangan sosial dan solidaritas sosial yang tinggi dikalangan umat.

2.    Membangun Fasilitas Ibadah (Masjid)

Setelah singgah di Madinah dengan tenang dan para shahabat dan ummat terkendali, Rasul memandang perlu untuk segera memikirkan tentang pembinaan ummat selanjutnya, dan itu diperlukan tempat yang strategis dan mudah dilaksanakan. Karena itu langkah kedua dalam strategi dakwahnya di Madinah adalah membangun Masjid. karena fungsi atau peranan masjid adalah :

a.    Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam di bidang akidah, ibadah, dan akhlak.

b.    Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri dan Idul Adha.( dihilangkan karena ada shalat Id yang dilapangan )

c.    Masjid merupakan tempat belajar dan mengajar tentang agama Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis.

d.    Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiah) demi terwujudnya persatuan.

e.    Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan sosial. Misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak, dan sedekah dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, terutama para fakir miskin dan anak-anak yatim terlantar.

f.     Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita luka akibat perang melawan orang-orang kafir. (Murodi, 2009: 18)

(Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009), hal. 18.)

Melalui strategi kedua ini cukup efektif, dan kondisi ummat Islam semakiln lama semakin kuat, baik aspek aqidah, ibadah maupun keluhuran ahlak.

3.    Meningkatkan Ukhuwah (Persaudaran)

Meningkatkan ukhuwah (persaudaraan) itu sangat penting karena dengan persaudaraan dapat mengikatkan kesatuan dan persatuan ummat yang kokoh, hingga  terwujud kesatuan ummat yang akan menjadi kekuatan yang sulit dikalahkan.

Salah satu strategi dakwah Rasul di Madinahpun adalah mempersaudarakan kamum Muhajirin dan kaum Ashar. Hal ini dilakukan agar kaum Muhajirin mendapatkan pengakuan dari kaum Ashar merasa terhargai oleh kaum Muhajirin, hingga kedua kafilah ini bersatu dalam satu ikatan (Ukhwah Islamiyah).

Pada saat itu Rasulullah mepersaudarakan tokoh Muhajir dan Anshor, seperti : “…Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, dipersaudarakan dengan Zaid bin Haritsah,yang kemudian  dijadikan anak angkat Rasulullah SAW. Abu Bakar ash-Shiddiq, dipersudarakan dengan Kharizah bin Zaid. Umar bin Khattab dipersaudarakan denga Itban bin Malik al-Khazraji (Ansar). Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi (Ansar)…”

“…Persaudaraan secara sepasang–sepasang seperti tersebut, ternyata membuahkan hasil sesama Muhajirin dan Ansar terjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik. Mereka saling mencintai, saling menyayangi, hormat-menghormati, dan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

Kaum Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tempat tinggal, sandang-pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum Muhajirin tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar dapat hidup mandiri. Misalnya, Abdurrahman bin Auf menjadi pedagang, Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib menjadi petani kurma.

Kaum Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansar secara bergotong-royong. Kegiatan Ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadis, kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan apabila terjadi perang anatara kaum Muslimin dengan kaum kafir, mereka ikut berperang” (Murodi, 2009;190)

Dampak dari strategi ini begitu luas, baik pada kehidupan, pribadi, keluarga maupun pada pola kehidupan sosial kemasyarakatan, ketika Rasulullah memberikan komando apapun mereka sami’na wa’athona (mereka mendengar dan mematuhinya).

4.    Menata Hubungan Diplomatik melalui Piagam Madinah

Penduduk Madinah tidak homogen, terdiri dari klan-klan Aus, Khazraj dan Yahudi, kelompok tersebut senantiasa terjadi konplik yang tidak ada ujungnya dengan masing-masing kekuatan yang berimbang sehingga pemecahannya tidak mudah. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang dan hidup merekapun terus menerus mencekam tanpa diketahui bagaimana akhirnya. ( diperbaiki susunan kalimatnya )

Memahami kondisi sosial masyarakat Madinah seperti itu, maka diperlukan penataan hubungan diplomatik yang elegan dan dapat diterima oleh berbagai pihak, sehingga kaum Muslimin dapat menunjukan diri sebagai kaum yang memilki symbol sebagai rahmatan lil’alamien”

Berbekal kemualian dan kecerdasan Rasulullah, masalah Madinah yang berkepanjangan dapat terselesaikan dengan lahirnnya “Piagam Madinah”.

Menurut Ibnu Hisyam, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah itu antara lain berisi:

Setiap golongan dari ketiga golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan dan politik. Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang yang mematuhi peraturan.

Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebasan beragama.

Seluruh penduduk kota Madinah yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Yahudi dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam bidang moril dan materiil. Apabila Madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah.

Rasulullah SAW adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana mestinya. (Samsul Munir, 2010: 69.)

Menurut Haikal, inilah dokumen politik yang telah diletakan Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun yang lalu dan yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat: tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Ia telah membukukan pintu baru kehidupan politik dan peradaban dunia masa itu. Dunia, yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan kehancuran semata.

 esame m  ereka guna menghormati segala hak dan segala macam kebebasan yang telah disetujui bersama dalam dokumen ini. (Haikal: Cet.ke 10, 2012:205).( dibuang atau dilihat kembali kutipan yang benar )

Itulah penataan hubungan diplomatik yang ditujukan ( diciptakan ) Rasulullah dalam menata Negara muslim pertama di Madinah, sehingga masalah ini menjadi proto type yang tepat bagi semua elemen muslim dimana pun ia berada. Insyaallah dengan cara itu dapat terbentuk negara yang baik dan penuh ampunan Allah (Baldatun Tyobatun Warrabun Ghafuofur). Baldatun Toyibatun Warobbun ghofur)

MADINAH : Madinah atau Madinah Al Munawwarah: مدينة رسول الله atau المدينه, (juga Madinat Rasul Allah, Madīnah an-Nabī) adalah kota ( Tulisan dibetulkan )utama di Arab Saudi. Merupakan kota yang ramai diziarahi atau dikunjungi oleh kaum Muslimin. Di sana terdapat Masjid Nabawi yang memiliki pahala dan keutamaan bagi kaum Muslimin. Dewasa ini, penduduknya sekitar 600.000 jiwa. Bagi umat Muslim kota ini dianggap sebagai kota suci kedua. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, kota ini menjadi pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam. Dari kota ini Islam menyebar ke seluruh jazirah Arabia ( Arab ) lalu ke seluruh dunia.

Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak. Selanjutnya ketika kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad. Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah adalah orang yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya. Namun karena pengkhianatan yang dilakukan terhadap penduduk Madinah ketika perang Ahzab, maka kaum Yahudi diusir ke luar Madinah.(Wikipedi.org : 2013 : Ensiklpedia bebas :1)

Madinah adalah simbul keutuhan Islam dan masyarakat Muslim. Ketika Nabi wafat, walaupun wahyu berhenti turun, para sahabatnya terus melanjutkan misi kenabian, ditangan mereka dunia dan akhirat, agama dan politik kurang lebih menyatu walupun dengan intensitas yang berbeda, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali masih menjadi simbul kesatuan. Dalam prespektif ini, Mu’awiyah, karena masuk Islamnya pada saat terahir ketika atau menjelang penaklukan Mekkah, tidak identik dengan kesalehan atau kekuatan misi kenabian. Ketika Ali berperang dengan Mu’awiyah di Siffin, sementara Alai ( Ali ) diidentikan dengan kenabian dan keberagamaan, sedangkan Mu’awiyah diidentikan dengan kedunian. Ketika akhirnya Mu’awiyah menjadi Khalifah, Mu’awiyah hanya memiliki kekuatan politik saja, tidak agama, kekuatan agama masih ada di Madinah. Kekuatan politik dan agama pun terpecah, tidak menyatu pada orang-orang yang sama di tempat yang sama. Politik yang dikembangkan Mu’awiyah seakan terlepas dari bimbingan agama, sementara agama yang dikembangkan di Madinah bukanlah agama yang akrab dengan persoalan-persoalan politik. Tidak heran kalau dalam perkembangan hukum Islam, fiqih politik mengalami perubahan paling lamabat dibanding bagian fiqih lainnya (Fuad Jabali, 2012:259).